Tuesday, November 17, 2020

SENI MENGAJAR (ART OF TEACHING)

 


SENI MENGAJAR (ART OF TEACHING)

Definisi mengajar

Mengajar adalah aktivitas kompleks yang dilakukan guru dalam menyampaikan pengetahuan kepada siswa, sehingga terjadi proses belajar. Aktivitas kompleks yang dimaksud antara lain adalah (1) mengatur kegiatan belajar siswa, (2) memanfaatkan lingkungan, baik ada di kelas maupun yang ada di luar kelas, dan (3) memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa.

Definisi di atas disarikan dari serangkaian pendapat para ahli pendidikan berikut ini:

Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Berhasilnya pendidikan pada siswa sangat bergantung pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Zamroni (2000:74) mengatakan “guru adalah kreator proses belajar mengajar”.

Ia adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa orientasi pengajaran dalam konteks belajar mengajar diarahkan untuk pengembangan aktivitas siswa dalam belajar. Gambaran aktivitas itu tercermin dari adanya usaha yang dilakukan guru dalam kegiatan proses belajar mengajar yang memungkinkan siswa aktif belajar. Oleh karena itu mengajar tidak hanya sekedar menyampaikan informasi yang sudah jadi dengan menuntut jawaban verbal melainkan suatu upaya integratif ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Dalam konteks ini guru tidak hanya sebagai penyampai informasi tetapi juga bertindak sebagai director and facilitator of learning.

Nasution (1982:8) mengemukakan kegiatan mengajar diartikan sebagai segenap aktivitas kompleks yang dilakukan guru dalam mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses belajar. Dengan demikian proses dan keberhasilan belajar siswa   turut ditentukan oleh peran yang dibawakan guru selama interaksi proses belajar mengajar berlangsung. Usman (1994:3) mengemukakan mengajar pada prinsipnya adalah membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan terjadinya proses belajar. Pengertian ini mengandung makna bahwa guru dituntut untuk dapat berperan sebagai organisator kegiatan belajar siswa dan juga hendaknya mampu memanfaatkan lingkungan, baik ada di kelas maupun yang ada di luar kelas, yang menunjang terhadap kegiatan belajar mengajar.

Burton (dalam Usman, 1994:3) menegaskan “teaching is the guidance of learning activities”. Hamalik (2001:44-53) mengemukakan, mengajar dapat diartikan sebagai (1) menyampaikan pengetahuan kepada siswa, (2) mewariskan kebudayaan kepada generasi muda, (3) usaha mengorganisasi lingkungan sehingga menciptakan kondisi belajar bagi siswa, (4) memberikan bimbingan belajar kepada murid, (5) kegiatan mempersiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang baik, (6) suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari. Tardif (dalam Adrian, 2004) mendefinisikan, mengajar adalah any action performed by an individual (the teacher) with the intention of facilitating learning in another individual (the learner), yang berarti mengajar adalah perbuatan yang dilakukan seseorang (dalam hal ini pendidik) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain (dalam hal ini peserta didik) melakukan kegiatan belajar.

Biggs (dalam Adrian, 2004) seorang pakar psikologi membagi konsep mengajar menjadi tiga macam pengertian yaitu (1) Pengertian Kuantitatif. Mengajar diartikan sebagai the transmission of knowledge, yakni penularan pengetahuan. Dalam hal ini guru hanya perlu menguasai pengetahuan bidang studinya dan menyampaikan kepada siswa dengan sebaik-baiknya. Masalah berhasil atau tidaknya siswa bukan tanggung jawab pengajar. (2) Pengertian institusional. Mengajar berarti the efficient orchestration of teaching skills, yakni penataan segala kemampuan mengajar secara efisien. Dalam hal ini guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar terhadap siswa yang memiliki berbagai macam tipe belajar serta berbeda bakat, kemampuan dan kebutuhannya. (3) Pengertian kualitatif. Mengajar diartikan sebagai the facilitation of learning, yaitu upaya membantu memudahkan kegiatan belajar siswa mencari makna dan pemahamannya sendiri. Burton (dalam Sagala, 2003:61) mengemukakan mengajar adalah upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.

 

Seni Mengajar

Jika berbicara tentang seni terlintas di dalam benak kita adalah sesuatu yang berhubungan dengan ketradisionalan seperti pertunjukan seni yang kita kenal meliputi seni tari, seni musik, seni rupa, seni media rekam dan sebagainya. Namun, jika meninjau definisi seni dalam pemikiran George R Terry  merupakan kemampuan dan kemahiran seseorang yang kreatif, di tambah dengan keahlian yang bersangkutan dalam menampilkan tugas pekerjaanya. Jika pekerjaan kita sebagai guru, alangkah baiknya jika seni ini bisa aplikasikan dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas.

Selain memilki kemampuan di bidang  akademis, guru juga harus memiliki jiwa seni dalam mengajar. Dengan demikian, para guru akan selalu berupaya menyajikan proses pengajaran yang kreatif, inovatif dan selalu berfikir divergen agar mampu menciptakan suasana baru dalam mengajar.  Dengan kegiatan yang ‘baru’ diharapkan mampu mencuri perhatian dan menstimulasi peserta didik untuk aktif belajar dalam kegiatan di kelas.

Bukan kah guru yang sedang mengajar di depan kelas bisa dikatakan ’tontonan’ bagi peserta didik? Untuk itu,  menarik tidaknya seorang guru bergatung dari ‘pertunjukan’ yang sedang  ia buat di depan kelas.  Peserta didik akan  menilai bahwa ‘pertunjukan ‘ yang menyenangkan, menarik, dan stimulatif akan membuat mereka menjadi antusias dan senang untuk belajar.

Saat ini kita  hidup di abad 21 dimana abad yang  jauh berbeda dengan jamannya wali sanga. Kita dituntut harus adaptif sesuai dengan perkembangan zaman. Era digital ini memang mutlak harus menjadi kewajiban para guru untuk mengembangkan cara mengajar yang  lebih kreatif dan efesien. Banyaknya teknologi media memberi implikasi pada cara pengajaran yang harus di up grade oleh guru era baru ini.

Jika merujuk tulisan dari Iwan Pranoto yang berjudul Berjuang di Pendidikan 2.0 menurutnya saat ini merupakan era teknologi informasi, Internet 2.0 yang ditandai dengan keadaan saat masyarakat bukan lagi sebagai penyerap informasi pasif belaka, tetapi juga sebagai sumber informasi. Jaring sosial semacam Facebook, Twitter, YouTube, Slideshare, Wikis, dsb merupakan ilustrasi yang tepat atas esensi Internet 2.0. Berbagai situs ini sebenarnya tak menguasai informasi, tetapi penggunanya justru yang membagikan informasinya. Dengan demikian, jika di Pendidikan 1.0 siswa menyerap pengetahuan dari guru, di Pendidikan 2.0 siswa saling membagikan pengetahuannya. Dengan ketersediaan jaringan Internet, Pendidikan 2.0 ini sangat cepat menjamur dan mewabah ke seluruh penjuru dunia. Guru dan pesera didik sekarang saling mengembangkan ilmu pengetahuan.

Kembali pada pokok pembahasan utama bahwa era digital para pendidik, guru, atau pengajar dalam mendidik  tidak cukup dengan memiliki pengalaman dan menguasai ilmu pengetahuan saja, tetapi juga harus selalu adaptif  dengan perkembangan zaman dan melibatkan aspek seni dalam melakukan tugasnya sebagai pengajar. Seperti apa yang di utarakan oleh A.S Neil bahwa mendidik dan mengajar bukan hanya suatu ilmu, tetapi juga seni.

Berikut kutipan contoh mengajar:

By David A.J & Paul Eggen (Methods for Teaching)

Mrs.Joy Warner wanted her kindergartners to learn about dental health. She organized her room into several learning centers,including a dentist’s office where the children counted each other’s teeth,cavities,and fillings and put information on a chart; a play-dough center where the children made models of teeth; an art center where the children painted the different parts of a tooth; a center by the sink where students practiced correct toothbrushing strokes; and a nutrition center where she interacted with a few children at a time. Three children sat with Mrs. Warner while an aide and a parent volunteer worked with children in the other learning centers. To begin, she showed them a picture of some food.

 

“What kind of food is this?” Mrs.Warner asked. “It looks like meatloaf,” JuRelle said. “Look a little closer.” “Cake.” “Yes, it does look like cake.And what is the stuff on top?” “Icing,“ Melina said. “And maybe nuts,” Nirav added.

“Great, Mrs.Warner said.“Now what do we have here?” “Strawberries.” “Good, Jessica. What about this one?” “A tomato,” Preston said. “Good,” Mrs.Warner said as she continued to hold up the pictures and ask the children to identify the food in each. She then turned toward the felt board, on which she had a cutout happy face. “What we are going to do now is sort these pictures. Some of these are pictures of food that can make your teeth happy,while others make your teeth not so happy.I’m going to put all the pictures in the middle and choose one, and then you can tell us where the pictures go. “OK, now let me model it first to show you. This is cake, and I am going to put cake right up here under the sad tooth.Why do you think the cake would make the tooth unhappy . . . Melina?” “Cavities,” Melina replied. “What might cause a cavity?” Mrs. Warner asked. “Sweet things,” Melina said. “Yes. Cavities are caused by eating too many sweet things, but what makes them sweet?” “I know. It’s sugar!” Melina exclaimed. “Verygood,”Mrs. Warner said.“You put sugar in things to make them sweet. Now let’s go back to our pictures to see if they should go under the happy face or the sad face....JuRelle,you do one for us.” JuRelle reached out, picked up a picture, and said,“Tomatoes.” “Can you say that in a complete sentence, please?” “Tomatoes are healthy for your teeth.” “Nice job, JuRelle. I like that word healthy. OK . . . Preston?” “Strawberries are good for your teeth.” “Right. A strawberry is a fruit, and it does have some sugar in it. But if you are going to eat the natural sugar in it, we know that is better than when you put sugar into foods to make them sweet like candy and cake.” Mrs.Warner continued to have the students classify the pictures and place them on the felt board. “Now,” she asked, “how many things do we have that are not good for your teeth?” The children counted aloud, one through seven. “And how many things do we have that are good for your teeth?”The children counted again, one through eight. “So which foods do we have the most of?” “Healthy food,” the children replied. “Good. Now I want everyone to listen. When we go over to our mural on the floor, you are going to draw either one healthy food or one unhealthy food.” “I’m going to draw a strawberry,” Preston said. “And where are you going to draw it? Under healthy things or unhealthy things?” “Healthy.” “Good, Preston,” Mrs.Warner said.“You are going to draw your strawberry under healthy, and after you draw it, write the word for the food right under your drawing.”

 

Mrs.Warner then sat on the floor next to the children and monitored their progress with a focus on an inventive spelling exercise that allowed her to diagnose the children’s progress on writing and their use of phonetics. These observations gave her information for future, individualized instruction.
She was also able to review with them their work in this integrated learning experience, including numbers, sets, language development, health, communication skills, writing, and art.  

 

Terjemahannya

 

Nyonya Joy Warner ingin anak-anak taman kanak-kanaknya belajar tentang kesehatan gigi. Dia mengatur kelasnya menjadi beberapa pusat pembelajaran, termasuk ruang praktik dokter gigi tempat anak-anak menghitung gigi, gigi berlubang, dan tambalan masing-masing, serta meletakkan informasi pada bagan; pusat adonan mainan tempat anak-anak membuat model gigi; sebuah pusat seni tempat anak-anak mengecat berbagai bagian gigi; sebuah pusat di dekat wastafel tempat para siswa mempraktikkan gerakan menyikat gigi yang benar; dan pusat nutrisi tempat dia berinteraksi dengan beberapa anak sekaligus. Tiga anak duduk bersama Nyonya Warner sementara seorang asisten dan seorang relawan orang tua bekerja dengan anak-anak di pusat pembelajaran lain. Untuk memulai, dia menunjukkan kepada mereka gambar makanan.

 

“Makanan apa ini?” Nyonya Warner bertanya. "Sepertinya meatloaf," kata JuRelle. Lihat lebih dekat. "Kue." “Ya, memang terlihat seperti kue. Dan apa yang ada di atasnya?” "Icing," kata Melina. "Dan mungkin kacang," tambah Nirav.
"Bagus, Nyonya Warner berkata." Sekarang apa yang kita punya di sini? " "Stroberi." "Bagus, Jessica. Bagaimana dengan yang ini?" “Sebuah tomat,” kata Preston. “Bagus,” kata Nyonya Warner sambil terus memegang gambar-gambar itu dan meminta anak-anak mengidentifikasi makanan di masing-masing. Dia kemudian berbalik ke papan flanel, di mana dia memiliki wajah senang yang dipotong. “Yang akan kami lakukan sekarang adalah menyortir gambar-gambar ini. Beberapa di antaranya adalah gambar makanan yang dapat membuat gigi Anda bahagia, sementara yang lain membuat gigi Anda tidak terlalu bahagia. Saya akan meletakkan semua gambar di tengah dan memilih salah satu, lalu Anda dapat memberi tahu kami ke mana perginya gambar tersebut. "Oke, sekarang izinkan saya memodelkannya terlebih dahulu untuk menunjukkan kepada Anda. Ini kue, dan saya akan meletakkan kue di sini di bawah gigi sedih. Menurut Anda, mengapa kue itu akan membuat gigi tidak bahagia. . . Melina? " "
Lubang," jawab Melina. “Apa yang mungkin menyebabkan lubang?” Nyonya Warner bertanya. "Hal-hal manis," kata Melina. "Iya. Gigi berlubang disebabkan oleh terlalu banyak makan yang manis, tapi apa yang membuatnya manis? ” "Aku tahu. Itu gula! " Seru Melina. "Sangat bagus," kata Nyonya Warner. "Anda memasukkan gula ke dalam hal-hal yang manis. Sekarang mari kita kembali ke gambar kami jika mereka harus membangunkan wajah bahagia atau muka ... JuRelle, Anda tidak melakukannya." JuRelle mengulurkan tangan, mengambil gambar, dan berkata, "Tomat." "Bisakah Anda mengatakannya dengan kalimat lengkap?" “Tomat itu sehat untuk gigi Anda.” “Kerja bagus, JuRelle. Saya suka kata itu sehat. BAIK . . . Preston? ” "Stroberi bagus untuk gigi Anda." "Baik. Stroberi adalah buah, dan mengandung sedikit gula di dalamnya. Tapi jika Anda akan makan gula alami di dalamnya, kami tahu itu lebih baik daripada saat Anda memasukkan gula ke dalam makanan untuk membuatnya manis seperti permen dan kue. " Nyonya Warner melanjutkan meminta siswa mengklasifikasikan gambar-gambar itu dan meletakkannya di papan flanel. “Sekarang,” dia bertanya, “berapa banyak hal yang kita miliki yang tidak baik untuk gigi Anda?” Anak-anak menghitung dengan lantang, satu sampai tujuh. “Dan berapa banyak barang yang kami miliki yang baik untuk gigi Anda?” Anak-anak menghitung lagi, satu sampai delapan. "Jadi makanan apa yang paling banyak kita miliki?" “Makanan sehat,” jawab anak-anak. "Baik. Sekarang saya ingin semua orang mendengarkan. Saat kita melihat mural di lantai, Anda akan menggambar salah satu makanan sehat atau satu makanan tidak sehat. ” “Saya akan menggambar stroberi,” kata Preston. “Dan di mana kamu akan menggambarnya? Di bawah hal yang sehat atau hal yang tidak sehat? " "Sehat." "Bagus, Preston," kata Nyonya Warner. "Anda akan menggambar stroberi Anda di bawah gambar yang sehat, dan setelah Anda menggambarnya, tuliskan kata untuk makanan itu tepat di bawah gambar Anda." Nyonya Warner kemudian duduk di lantai di samping anak-anak dan memantau kemajuan mereka dengan fokus pada latihan mengeja inventif yang memungkinkannya untuk mendiagnosis kemajuan anak dalam menulis dan penggunaan fonetik. Pengamatan ini memberinya informasi untuk masa depan, instruksi individual. .
Dia juga dapat meninjau bersama mereka pekerjaan mereka dalam pengalaman belajar terintegrasi ini, termasuk angka, set, pengembangan bahasa, kesehatan, keterampilan komunikasi, menulis, dan seni.

 

 

 

No comments:

Post a Comment