UNBK; Pro dan Kons
Edi Santoso (Guru SMA Negeri
Olahraga Lampung)
Penyelenggaraan Ujian Nasional dari
tingkat SMA, SMP, SD serta yang sederajat di masing-masing satuan pendidikan di
Indonesia dari waktu ke waktu menuai respons pro dan kontra dari khalayak
masyarakat terlebih pengamat dan pemerhati pendidikan. Dari mulai
mempertanyakan kualitas pendidikan berdasarkan hasil nilai ujian hingga
penolakan terhadap dilaksanakannya UN itu sendiri.
Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia No 45 tahun 2006, UN merupakan kegiatan pengukuran dan penilaian
kompetensi peserta didik secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan
menengah yang pelaksanaannya ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP), dimana penyelenggaraannya meliputi mata pelajaran tertentu yang diikuti
oleh peserta didik SMP, MTs, SMPLB, SMA, MA, SMALB, dan SMK.
Landasan yuridis pelaksanaan UN adalah a) Undang-Undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; b) Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; c) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.20/2005 tentang Ujian Nasional Tahun Pelelajaran 2005/2006. UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu satuan dan/program pendidikan; seleksi untuk masuk jenjang pendidikan berikutnya; penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan; akreditasi satuan pendidikan; dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Senada dengan hal tersebut Haryanti dan Mujiran (Suara Merdeka, 150205) mengemukakan bahwa alasan pemerintah menyelenggarakan ujian nasional, antara lain karena ujian nasional berguna untuk mengukur dan menilai kompetensi peserta didik dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya disampaikan juga bahwa pemerintah memandang perlu dilaksanakannya UN karena selain untuk kepentingan pemetaan pendidikan UN juga dipakai sebagai instrumen penentu kelulusan dan pemberian ijazah bagi peserta didik.
Tujuan diadakan Ujian Nasional (UN) , Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 153/U/2003 Tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 bahwa tujuan dan fungsi ujian nasional seperti yang tercantum dalam SK Mendiknas 153/U/2003 yaitu:
• Mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.
• Mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan sekolah/madrasah.
• Mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, propinsi, kabupaten/kota, sekolah/madrasah, dan kepada masyarakat.
- PRO UN
UN (Ujian Nasional) merupakan kegiatan tahunan pemerintah yang menimbulkan banyak pro dan kotra. Meskipun banyak masyarat dan beberapa pejabat pemerintah menilai kegiatan ini harus dihapuskan, tapi masih ada masyarakat dan pejabat pemerintah yang mendukung kegiatan ini. Bapak Agung Laksono selaku Menkokesra yang dikutip dalam Kompas edisi 25 April 2013 menyatakan dukungannya kepada UN. Beliau menyampaikan bahwa pelaksanaan UN itu penting bagi pemeritah, meskipun ada banyak kekurangan dan harus diperbaiki setiap tahunnya. Selain Menkokesra, UN juga mendapat dukungan penuh dari instansi terkait seperti Kemendikbud, DPR dan Kementrian Keuangan. Bentuk dukungan mereka yaitu berupa anggaran yang selalu disihkan untuk UN setiap tahunnya.
Menurut Karso selaku Lektor Kepala FPMIPA UPI terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan alasan mengapa UN peru dipertahankan, antara lain : Ada beberapa hal yang dapat dijadikan alasan mengapa UN perlu tetap dipertahankan, antara lain:
a. Beberapa pasal pada Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang terkait langsung dengan kegiatan ujian atau evaluasi pendidikan adalah pasal 35, pasal 57, pasal 58, dan pasal 59. Berdasarkan pasal-pasal dan ayat-ayatnya serta kaitannya satu sama lain, maka dapat ditarik suatu pemahaman seperti berikut ini.
1) Terhdap hasil belajar peserta didik perlu dilakukan evaluasi oleh pendidik dengan tujuan utama untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (pasal 58, ayat 1).
2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidikan, dan program pendidikan untuk memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58, ayat 2) pencapaian standar nasional pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan evaluasi pendidikan) (pasal 35, ayat 1).
3) Evaluasi terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidkan, dan program pendidikan untuk memantau atau menilai pencapaian standar nasional dilakukan oleh suatu lembaga mandiri (pasal 58, ayat 2), dapat berupa badan standarisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan (pasal 35, ayat 3) dan/atau lembaga yang diselenggarakan oleh masyarakat dan/atau yang diselenggarakan oleh organisasi profesi.
4) Pasal 35, 57, dan 58 mengamanatkan bahwa evaluasi perlu dilakukan untuk (a) pengendalian mutu pendidikan secara nasional (pasal 57, ayat 1), dan (b) memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58, ayat 2) pencapaian standar nasional pendidikan.
5) Pasal 59 berisi tentang lembaga yang harus melakukan evaluasi dan membentuk lembaga evaluasi yang mandiri disertai beberapa spesifikai tentang apa dan siapa yang dievaluasi, yaitu pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (pasal 59, ayat 1). Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana ynag dimaksud dalam pasal 58 (pasal 59, ayat 2).
b. Tidak sedikit pula pendapat yang mendukung dilaksanakan UN terutama didasarkan pada argumentasi tentang pentingnya UN sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional dan pendorong atau motivator bagi peserta didik dan penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
c. UN perlu dilaksanakan dalam rangka menegakkan akuntabilitas pengelola dan penylenggara pendidikan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat pada umumnya. Secara konseptual UN mampu menyediakan informasi yang akurat kepada masyarakat tentang prestasi yang dicapai oleh setiap peserta didik, sekolah, lembaga pendidikan kabupaten/kota, provinsi, dan prestasi nasional secara keseluruhan. Informasi ini dapat digunakan untuk membandingkan prestasi belajar antar sekolah, kabupaten/kota, dan antar provinsi. Dalam konteks ini UN merupakan instrumen yang potensial untuk menyediakan informasi penting dalam menegakkan akuntabilitas.
Beberapa masyarakat pun berpendapat bahwa UN masih perlu dilaksanakan karena UN memberikan beberapa dampak positf dan hasil dari UN bisa dijadikan acuan untuk kejenjang pendidikan selanjutnya. Beberapa kegunaan hasil UN :
• Penetapan mutu satuan dan atau program pendidikan di seluruh Indonesia,
• Seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau berikutnya,
• Pertimbangan penentuan kelulusan peserta didik dari satuan dan atau program pendidikan,
• Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan dan atau program pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan untuk mencapai tingkat kelulusan tertentu, dan
• Perbaikan sarana dan prasarana untuk guru, laboratorium, perpustakaan, tenaga kependidikan dan keperluan sekolah lainnya. Secara tidak langsung dampak positif dari pelaksaan UN bagi siswa adalah memotivasi siswa untuk lebih rajin belajar, karena siswa sadar bahwa persaingan dalam UN sangat ketat sekali dan hasil UN merupakan penentu masa depan mereka.
- KONTRA UN
Telah muncul berbagai tanggapan dan pendapat yang beragam dari berbagai kalangan tentang UN yang dilansir oleh sejumlah media masa. Di antara mereka ada yang secara tegas menolak keberadaan UN dalam bentuk apapn dan menggantinya dengan ujian sekolah. Menurut kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN (Tempo, 040205), yaitu ;
• pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif.
• Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.
• Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005 dan pada tahun 2006 ini standar nilai kelulusan dinaikan hingga 5,00. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah ataupun di rumah.
• Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.
Selain itu Karso selaku Lektor Kepala FPMIPA UPI berpendapat bahwa argumentasi yang dapat dikemukakan sebagai penolakan UN antara lain :
a. Dilihat dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pasal 8 ayat 1: “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemampuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”.
b. Karena sifat ujiannya nasional, maka bidang kajian yang di-UN-kan dianggap lebih penting daripada pelajaran lain, sehingga sebagian besar upaya sekolah hanya ditujukan untuk mengantarkan peserta didik mencapai keberhasilan dalam UN. Padahal materi UN hanya mencakup aspek intelektual, belum mampu mengukur seluruh aspek pendidikan secara utuh. Dalam hal ini telah terjadi malpraktik dengan kesan penyempitan terhadap makna dan hakekat pendidikan yang utuh menjadi hanya menyangkut aspek kognitif untuk beberapa pelajaran yang diujikan. Kecakapan motorik, sosial, emosional, moral atau budi pekerti, dan aspek spiritual dianggap diabaikan.
c. Menurut sebagian ahli tes, UN dalam keadaan sekarang bertentangan dengan kaidah pendidikan itu sendiri. Dalam kaidah pendidikan tes digunakan untuk menjamin kualitas anak didik, bukan untuk menghukumnya. Sekarang ini UN digunakan untk menghukum anak didik yang telah belajar selama tiga tahun tetapi tidak lulus dalam UN yang hanya dilaksanakan dalam beberapa menit dan beberapa mata pelajaran. Padahal seharusnya pemerintah introspeksi diri bahwa ketidaklulusan anak didik adalah cerminan dari ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa. Jangan kesalahan itu dibebankan kepada para siswa.
d. Kenyataannya sekarang ini di lapangan, di sekolah-sekolah ada yang mulai berkiblat pada bimbingan les. Para siswa lebih percaya pada bimbingan les daripada kepada guru mereka sendiri, yang mengajar selama tiga tahun. Guru mata pelajaran yang di-UN-kan saja merasa terabaikan, bagaimana dengan guru mata pelajaran yang non-UN? Tidak sedikit ada yang mendatangkan guru bimbingan belajar atau bentuk-bentuk kersajama antara lembaga bimbingan belajar dengan sekolah. Ada yang berangapan bahwa dunia pendidikan berkiblat pada UN, sehingga telah mengerdilkan makna pendidikan. Menurut Ketua Komisi X DPR RI Heri Ahmadi (Pikiran Rakyat, 19 Desember 2007) mengungkapkan bahwa “Pelaksanaan UN ini mengakibatkan fungsi sekolah sebagai tempat belajar semakin kehilangan makna, sebab yang terpenting bagaimana sekolah dapat meluluskan siswanya”. Hal ini memang benar, karena sering terdengar adanya berita-berita yang negatif yang dilakukan oleh oknum guru atau sekolah dalam pelaksanaan UN.
e. Belum lagi tentang disvaritas mutu sekolah, efisiensi anggaran, belum memberikan jaminan kualitas lulusan meningkat. Sebagai contoh penulis pernah menemukan suatu sekolah di suatu kabupaten terpencil yang hanya mengajarkan mata pelajaran yang di-UN-kan saja untuk para siswa di kelas tiga. Kemudian menurut hasil penelitian di ITB, ternyata lebih banyak mahasiswa yang drop out yang pada waktu di SMA-nya mengikuti bimbingan belajar daripada mereka yang tidak mengikuti bimbingan belajar
Landasan yuridis pelaksanaan UN adalah a) Undang-Undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; b) Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; c) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.20/2005 tentang Ujian Nasional Tahun Pelelajaran 2005/2006. UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu satuan dan/program pendidikan; seleksi untuk masuk jenjang pendidikan berikutnya; penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan; akreditasi satuan pendidikan; dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Senada dengan hal tersebut Haryanti dan Mujiran (Suara Merdeka, 150205) mengemukakan bahwa alasan pemerintah menyelenggarakan ujian nasional, antara lain karena ujian nasional berguna untuk mengukur dan menilai kompetensi peserta didik dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya disampaikan juga bahwa pemerintah memandang perlu dilaksanakannya UN karena selain untuk kepentingan pemetaan pendidikan UN juga dipakai sebagai instrumen penentu kelulusan dan pemberian ijazah bagi peserta didik.
Tujuan diadakan Ujian Nasional (UN) , Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 153/U/2003 Tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 bahwa tujuan dan fungsi ujian nasional seperti yang tercantum dalam SK Mendiknas 153/U/2003 yaitu:
• Mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.
• Mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan sekolah/madrasah.
• Mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, propinsi, kabupaten/kota, sekolah/madrasah, dan kepada masyarakat.
- PRO UN
UN (Ujian Nasional) merupakan kegiatan tahunan pemerintah yang menimbulkan banyak pro dan kotra. Meskipun banyak masyarat dan beberapa pejabat pemerintah menilai kegiatan ini harus dihapuskan, tapi masih ada masyarakat dan pejabat pemerintah yang mendukung kegiatan ini. Bapak Agung Laksono selaku Menkokesra yang dikutip dalam Kompas edisi 25 April 2013 menyatakan dukungannya kepada UN. Beliau menyampaikan bahwa pelaksanaan UN itu penting bagi pemeritah, meskipun ada banyak kekurangan dan harus diperbaiki setiap tahunnya. Selain Menkokesra, UN juga mendapat dukungan penuh dari instansi terkait seperti Kemendikbud, DPR dan Kementrian Keuangan. Bentuk dukungan mereka yaitu berupa anggaran yang selalu disihkan untuk UN setiap tahunnya.
Menurut Karso selaku Lektor Kepala FPMIPA UPI terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan alasan mengapa UN peru dipertahankan, antara lain : Ada beberapa hal yang dapat dijadikan alasan mengapa UN perlu tetap dipertahankan, antara lain:
a. Beberapa pasal pada Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang terkait langsung dengan kegiatan ujian atau evaluasi pendidikan adalah pasal 35, pasal 57, pasal 58, dan pasal 59. Berdasarkan pasal-pasal dan ayat-ayatnya serta kaitannya satu sama lain, maka dapat ditarik suatu pemahaman seperti berikut ini.
1) Terhdap hasil belajar peserta didik perlu dilakukan evaluasi oleh pendidik dengan tujuan utama untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (pasal 58, ayat 1).
2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidikan, dan program pendidikan untuk memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58, ayat 2) pencapaian standar nasional pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan evaluasi pendidikan) (pasal 35, ayat 1).
3) Evaluasi terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidkan, dan program pendidikan untuk memantau atau menilai pencapaian standar nasional dilakukan oleh suatu lembaga mandiri (pasal 58, ayat 2), dapat berupa badan standarisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan (pasal 35, ayat 3) dan/atau lembaga yang diselenggarakan oleh masyarakat dan/atau yang diselenggarakan oleh organisasi profesi.
4) Pasal 35, 57, dan 58 mengamanatkan bahwa evaluasi perlu dilakukan untuk (a) pengendalian mutu pendidikan secara nasional (pasal 57, ayat 1), dan (b) memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58, ayat 2) pencapaian standar nasional pendidikan.
5) Pasal 59 berisi tentang lembaga yang harus melakukan evaluasi dan membentuk lembaga evaluasi yang mandiri disertai beberapa spesifikai tentang apa dan siapa yang dievaluasi, yaitu pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (pasal 59, ayat 1). Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana ynag dimaksud dalam pasal 58 (pasal 59, ayat 2).
b. Tidak sedikit pula pendapat yang mendukung dilaksanakan UN terutama didasarkan pada argumentasi tentang pentingnya UN sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional dan pendorong atau motivator bagi peserta didik dan penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
c. UN perlu dilaksanakan dalam rangka menegakkan akuntabilitas pengelola dan penylenggara pendidikan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat pada umumnya. Secara konseptual UN mampu menyediakan informasi yang akurat kepada masyarakat tentang prestasi yang dicapai oleh setiap peserta didik, sekolah, lembaga pendidikan kabupaten/kota, provinsi, dan prestasi nasional secara keseluruhan. Informasi ini dapat digunakan untuk membandingkan prestasi belajar antar sekolah, kabupaten/kota, dan antar provinsi. Dalam konteks ini UN merupakan instrumen yang potensial untuk menyediakan informasi penting dalam menegakkan akuntabilitas.
Beberapa masyarakat pun berpendapat bahwa UN masih perlu dilaksanakan karena UN memberikan beberapa dampak positf dan hasil dari UN bisa dijadikan acuan untuk kejenjang pendidikan selanjutnya. Beberapa kegunaan hasil UN :
• Penetapan mutu satuan dan atau program pendidikan di seluruh Indonesia,
• Seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau berikutnya,
• Pertimbangan penentuan kelulusan peserta didik dari satuan dan atau program pendidikan,
• Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan dan atau program pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan untuk mencapai tingkat kelulusan tertentu, dan
• Perbaikan sarana dan prasarana untuk guru, laboratorium, perpustakaan, tenaga kependidikan dan keperluan sekolah lainnya. Secara tidak langsung dampak positif dari pelaksaan UN bagi siswa adalah memotivasi siswa untuk lebih rajin belajar, karena siswa sadar bahwa persaingan dalam UN sangat ketat sekali dan hasil UN merupakan penentu masa depan mereka.
- KONTRA UN
Telah muncul berbagai tanggapan dan pendapat yang beragam dari berbagai kalangan tentang UN yang dilansir oleh sejumlah media masa. Di antara mereka ada yang secara tegas menolak keberadaan UN dalam bentuk apapn dan menggantinya dengan ujian sekolah. Menurut kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN (Tempo, 040205), yaitu ;
• pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif.
• Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.
• Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005 dan pada tahun 2006 ini standar nilai kelulusan dinaikan hingga 5,00. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah ataupun di rumah.
• Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.
Selain itu Karso selaku Lektor Kepala FPMIPA UPI berpendapat bahwa argumentasi yang dapat dikemukakan sebagai penolakan UN antara lain :
a. Dilihat dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pasal 8 ayat 1: “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemampuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”.
b. Karena sifat ujiannya nasional, maka bidang kajian yang di-UN-kan dianggap lebih penting daripada pelajaran lain, sehingga sebagian besar upaya sekolah hanya ditujukan untuk mengantarkan peserta didik mencapai keberhasilan dalam UN. Padahal materi UN hanya mencakup aspek intelektual, belum mampu mengukur seluruh aspek pendidikan secara utuh. Dalam hal ini telah terjadi malpraktik dengan kesan penyempitan terhadap makna dan hakekat pendidikan yang utuh menjadi hanya menyangkut aspek kognitif untuk beberapa pelajaran yang diujikan. Kecakapan motorik, sosial, emosional, moral atau budi pekerti, dan aspek spiritual dianggap diabaikan.
c. Menurut sebagian ahli tes, UN dalam keadaan sekarang bertentangan dengan kaidah pendidikan itu sendiri. Dalam kaidah pendidikan tes digunakan untuk menjamin kualitas anak didik, bukan untuk menghukumnya. Sekarang ini UN digunakan untk menghukum anak didik yang telah belajar selama tiga tahun tetapi tidak lulus dalam UN yang hanya dilaksanakan dalam beberapa menit dan beberapa mata pelajaran. Padahal seharusnya pemerintah introspeksi diri bahwa ketidaklulusan anak didik adalah cerminan dari ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa. Jangan kesalahan itu dibebankan kepada para siswa.
d. Kenyataannya sekarang ini di lapangan, di sekolah-sekolah ada yang mulai berkiblat pada bimbingan les. Para siswa lebih percaya pada bimbingan les daripada kepada guru mereka sendiri, yang mengajar selama tiga tahun. Guru mata pelajaran yang di-UN-kan saja merasa terabaikan, bagaimana dengan guru mata pelajaran yang non-UN? Tidak sedikit ada yang mendatangkan guru bimbingan belajar atau bentuk-bentuk kersajama antara lembaga bimbingan belajar dengan sekolah. Ada yang berangapan bahwa dunia pendidikan berkiblat pada UN, sehingga telah mengerdilkan makna pendidikan. Menurut Ketua Komisi X DPR RI Heri Ahmadi (Pikiran Rakyat, 19 Desember 2007) mengungkapkan bahwa “Pelaksanaan UN ini mengakibatkan fungsi sekolah sebagai tempat belajar semakin kehilangan makna, sebab yang terpenting bagaimana sekolah dapat meluluskan siswanya”. Hal ini memang benar, karena sering terdengar adanya berita-berita yang negatif yang dilakukan oleh oknum guru atau sekolah dalam pelaksanaan UN.
e. Belum lagi tentang disvaritas mutu sekolah, efisiensi anggaran, belum memberikan jaminan kualitas lulusan meningkat. Sebagai contoh penulis pernah menemukan suatu sekolah di suatu kabupaten terpencil yang hanya mengajarkan mata pelajaran yang di-UN-kan saja untuk para siswa di kelas tiga. Kemudian menurut hasil penelitian di ITB, ternyata lebih banyak mahasiswa yang drop out yang pada waktu di SMA-nya mengikuti bimbingan belajar daripada mereka yang tidak mengikuti bimbingan belajar
Ujian Nasional Berbasis Komputerisasi (UNBK) merupakan salah
satu terobosan pemerintah di dalam sistem pendidikan yang ada di Indonesia.
Tetapi, adanya pro dan kontra terhadap pengaplikasian UNBK ini masih menjadi
polemik baik di kalangan masyarakat ataupun di kalangan akademisi sendiri.
Sebetulnya, penerapan akan UNBK ini bertujuan baik dan positif. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika UNBK ini akan diterapkan di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia.
Pertama, dari segi penyediaan fasilitas. "Kita semua tahu bahwa tidak semua sekolah yang ada di Indonesia memiliki fasilitas yang dikatakan layak. Mulai dari ketersediaan komputer bagi siswa sampai dengan ketersediaan jaringan internet bagi keberlangsungan UNBK tersebut," kata Praktisi Komunikasi Universitas Sriwijaya, Shinta Desiyana Fajarica, S.IP., M.Si kepada RMOLSumsel, Senin (10/4).
Untuk itu, pemerintah ada baiknya melakukan pemetaan terlebih dahulu akan kesiapan dari masing-masing daerah utamanya sekolah-sekolah yang berada di kabupaten atau wilayah yang kondisi jaringannya belum terjangkau dengan baik, begitupun dengan kelengkapan fasilitas lainnya.
Kedua, peran pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan Kabupaten/kota perlu mengeluarkan regulasi tentang penerapan UMBK itu sendiri.
"Tentunya butuh dukungan dari semua pihak. Sehingga perlu koordinasi yang baik antar berbagai pihak di tiap lini/sektor. Peran pemerintah menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan program UNBK," lanjutnya.
Ketiga, penerapan unbk ini menjawab tantang dunia. "Dimana, dengan semakin canggihnya teknologi kita pun tidak bisa menghindari hadirnya dunia online di kehidupan sekitar kita. Terutama di lingkungan pendidikan itu sendiri," sambungnya.
Namun, lagi-lagi juga perlu disadari akan potensi negatif yang bisa timbul ketika UNBK diterapkan. Misal, kemungkinan kebocoran soal yang bisa saja terjadi akibat kelalaian dalam menggunakan teknologi online itu sendiri.
"Artinya disamping dukungan, pengawasan terpadu dan berkelanjutan dari banyak pihak sangat diperlukan," tegasnya.
Disisi lain apakah UNBK ini sudah cocok untuk diterapkan di negara ini Indonesia, jawabannya tentu saja iya. Tetapi, tidak bisa dilakukan secara serentak dan bersamaan di semua wilayah.
"Kembali lagi, perlu adanya proses pemantauan langsung dari pemerintah setempat tentang kesiapan dari masing-masing wilayah dan sekolah, utamanya dalam kesiapan fasilitas (hardware dan software), jaringan internet, serta sumber daya manusianya," pungkasnya.[rik]
“Evaluasi UNBK tingkat SMK kemarin ada dua
kendala yaitu kendala teknis seperti listrik mati dan komputer ngadat yang
jumlahnya hanya di empat sekolah atau hanya 0,02 persen. Kendala teknis
tanggung jawab provinsi dan saat itu sudah bisa langsung diatasi tidak perlu
menunggu lama,” kata Gus Ipul, usai menyaksikan
pelaksanaan UNBK tingkat SMA di beberapa sekolah
di Gresik, Senin (10/4/2017).Sebetulnya, penerapan akan UNBK ini bertujuan baik dan positif. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika UNBK ini akan diterapkan di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia.
Pertama, dari segi penyediaan fasilitas. "Kita semua tahu bahwa tidak semua sekolah yang ada di Indonesia memiliki fasilitas yang dikatakan layak. Mulai dari ketersediaan komputer bagi siswa sampai dengan ketersediaan jaringan internet bagi keberlangsungan UNBK tersebut," kata Praktisi Komunikasi Universitas Sriwijaya, Shinta Desiyana Fajarica, S.IP., M.Si kepada RMOLSumsel, Senin (10/4).
Untuk itu, pemerintah ada baiknya melakukan pemetaan terlebih dahulu akan kesiapan dari masing-masing daerah utamanya sekolah-sekolah yang berada di kabupaten atau wilayah yang kondisi jaringannya belum terjangkau dengan baik, begitupun dengan kelengkapan fasilitas lainnya.
Kedua, peran pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan Kabupaten/kota perlu mengeluarkan regulasi tentang penerapan UMBK itu sendiri.
"Tentunya butuh dukungan dari semua pihak. Sehingga perlu koordinasi yang baik antar berbagai pihak di tiap lini/sektor. Peran pemerintah menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan program UNBK," lanjutnya.
Ketiga, penerapan unbk ini menjawab tantang dunia. "Dimana, dengan semakin canggihnya teknologi kita pun tidak bisa menghindari hadirnya dunia online di kehidupan sekitar kita. Terutama di lingkungan pendidikan itu sendiri," sambungnya.
Namun, lagi-lagi juga perlu disadari akan potensi negatif yang bisa timbul ketika UNBK diterapkan. Misal, kemungkinan kebocoran soal yang bisa saja terjadi akibat kelalaian dalam menggunakan teknologi online itu sendiri.
"Artinya disamping dukungan, pengawasan terpadu dan berkelanjutan dari banyak pihak sangat diperlukan," tegasnya.
Disisi lain apakah UNBK ini sudah cocok untuk diterapkan di negara ini Indonesia, jawabannya tentu saja iya. Tetapi, tidak bisa dilakukan secara serentak dan bersamaan di semua wilayah.
"Kembali lagi, perlu adanya proses pemantauan langsung dari pemerintah setempat tentang kesiapan dari masing-masing wilayah dan sekolah, utamanya dalam kesiapan fasilitas (hardware dan software), jaringan internet, serta sumber daya manusianya," pungkasnya.[rik]
Sedangkan kendala kedua, adalah kendala di mana soal tidak muncul. Kendala kedua ini berasal dari pusat .
Untuk kendala kedua, ada empat masalah yang muncul. Yang pertama gambar dan teks dalam tampilan soal ujian tidak muncul dan hanya opsi pilihan soal saja yang muncul sehingga siswa tidak bisa mengikuti UNBK.
Sedangkan masalah kedua yaitu, peserta mendapatkan naskah yang tidak sesuai dengan kompetensi atau jurusannya. Jurusan Multi Media misalnya, mendapatkan soal jurusan agrobisnis, begitu sebaliknya.
Untuk masalah ketiga adalah butir soal banyak yang tidak muncul atau butir soal tidak keluar semua dalam tampilan soal ujian. Sementara masalah terakhir adalah, soal yang keluar berasal dari kurikulum 2013, padahal selama ini yang diajarkan di sekolah itu adalah kurikulum 2006.
“Yang bermasalah ini di 10 jurusan yang ada di SMK,” kata Gus Ipul. Sebanyak 10 jurusan itu adalah Rekayasa Perangkat Lunak; Teknik Audio Video; Agrobisnis; Gambar Bangunan; Perbankan; Multi Media; Desain Komunikasi Visual; Pertelevisian; Permesinan; dan Grafika.
Dari catatan yang ada, kata Gus Ipul, saat ini sudah ada 9399 pelajar yang melaporkan tidak bisa mengikuti UNBK karena adanya masalah soal dari pusat ini. “Tapi kami asumsikan masih ada sekitar 3 ribuan lagi yang belum melapor,” kata Gus Ipul.
Kelebihan
1.
Memanfaatkan teknologi
2.
Memudahkan kerja pengawas
3.
Meminimalisasi murid mencontek
Kelemahan
1.
Kendala
teknis; mati lampu atau computer ngadat
2.
Kendala
jaringan, server
3.
Kebocoran
soal
No comments:
Post a Comment